![]() |
Baligo Bakal Calon Wali Kota Bima dan Bakal Calon Guburnur NTB. Foto Berita11.com |
Kota Bima, Berita11.com—Pembahasan mahar politik menjadi isu santer beberapa
pekan terakhir. Lalu bagaimana dengan Pilkada Kota Bima? Sejumlah kandidat
mantan bakal calon Wali Kota Bima menyatakan, politik di daerah seperti di Kota
Bima juga erat dengan dugaan mahar politik.
Bakal calon Wali Kota Bima jalur perseorangan, H Sudirman Ismail mengaku
pernah memiliki pengalaman ketika hendak maju sebagai bakal calon Wali Kota Bima
melalui jalur Parpol pada tahun 2013. Ketika itu melamar Parpol di Jakarta,
namun yang tersirat adanya mahar politik jika ingin diusung Parpol.
“Ketika itu sampai satu miliar. Tapi saya justru diserobot oleh orang lain,
saya gagal maju karena tidak mendapatkan Parpol untuk di daerah,” kata Sudirman
melalui Ponsel, Rabu (24/1/2018).
Menurut Sudirman, mahar politik bukan rahasia lagi di setiap Pilkada. Bahkan
di sejumlah daerah di bandrol dengan harga Rp500 juta yang dihitung dari jumlah
kursi Parpol di legislatif. “Ini bukan rahasia lagi tapi sudah diketahui
masyarakat luas. Tinggal mau jujur atau tidak saja pengalaman saya lima tahun
lalu juga begitu,” kata Sudirman.
Sudirman berharap DPR RI mau menyerap pendapat konstituen hingga daerah
terkait isu mahar politik. Pada masa mendatang legislatif harus mampu
menyiapkan formulasi yang dapat menghilangkan mahar politik. Misalnya dengan
cara menyiapkan produk hukum yang mengatur bahwa biaya politik ditanggung oleh
negara.
“Siapa
yang banyak uang itulah yang akan mendapatkan kendaraan politik untuk maju
sebagai figur calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu tentu
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan calon pemimpin berkualitas. Karena tanpa
uang tidak mampu bersaing, padahal memiliki kemampuan atau kecerdasan
(integritas) untuk memimpin,” katanya.
Sementara itu, mantan kandidat bakal calon Wali Kota Bima 2018-2023, Ir H Sutarman Masrun, MM juga memiliki pengalaman yang sama terkait
mahar politik. Menurutnya mahar politik maupun istilah lain yang hampir serupa
memang benar-benar terjadi.
Sutarman bahkan pesimis bahwa masih ada Parpol yang mengedepankan idielisme
dalam mengusung kandidat bakal calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Menurutnya,
pada prinsipnya, figur atau kandidat bakal calon mafhum bahwa Parpol
membutuhkan biaya operasional. Hanya saja
seharusnya Parpol tidak memasang “perangkap” yang mendorong kandidat berperang untuk
menawar lebih tinggi untuk mendapatkan kendaraan politik.
“Kita
memahami bahwa Parpol memang butuh uang operasional atau apalah namanya. Hanya
saja yang kita sayangkan Parpol sengaja memasang perangkap,” katanya
melalui Ponsel, Rabu (24/1/2018).
Di tengah kemajuan pola pikir (mindset) masyarakat yang disokong oleh
perkembangan teknologi, mestinya Parpol menyadari bahwa peran dan fungsinya
adalah menyampaikan pendidikan politik kepada masyarakat. Bukan sebaliknya
mengajarkan pendidikan politik yang buruk kepada para kandidat. Apa yang
dikeluarkan oleh kandidat pasti akan dihitung.
Tak semua kandidat calon mengeluarkan biaya politik (cost politics) dari
kantung pribadi. Namun juga berasal dari dana pinjaman, sehingga kini muncul
ada figur yang dilaporkan ke polisi terkait pinjaman untuk biaya politik.
“Mau
diakui atau tidak, mahar politik, biaya operasional untuk Parpol yang akan
menjadi pengusung atau apapun istilahnya itu memang benar-benar ada dan
terjadi. Saya mengetahuinya karena saya pelaku (figur bakal calon Wali Kota
Bima) yang hendak berkompetisi pada Pilkada Kota Bima,” kata Sutarman.
Pengusaha tambang ini berharap, pada masa mendatang mahar politik menjadi
isu yang mesti diatensi oleh DPR RI. Kasus yang muncul dan menjadi pemberitaan
di layar televisi tak usah diperdebatkan lagi. Legislatif di pusat harus
menyiapkan produk hukum yang mengarahkan bahwa biaya politik ditanggung oleh
negara sehingga menghilangkan penilaian negatif tentang politik.
“Jangan
bantah-bantahan karena
kalau bantah-bantahan itu munafik. Sementara yang terjadi itu
ril. Kalau yang muncul di televisi itu kasusnya skalanya puluhan atau ratusan miliar, sementara
yang saya alami miliaran rupiah hanya beda skala saja,” katanya.
Meskipun gagal maju sebagai calon Wali Kota, Sutarman menyatakan tak
keberatan dengan seluruh biaya yang dia keluarkan selama proses pengenalan diri
hingga upaya mendatkan kendaraan politik. Sejak awal ia mengaku sudah
mendapatkan restu dari kerabatnya. Keinginan maju sebagai kandidat bakal calon
Wali Kota Bima murni untuk mengabdi dan sebagai bentuk ibadah.
“Apa yang saya lakukan dan telah keluarkan, niat saya maju (sebagai calon
Wali Kota) saya anggap sebagai ibadah,” katanya. (US)