![]() |
Abdul Munir. Foto Istimewah. |
Kota Bima, Berita11.com— Meskipun sudah memiliki Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT). Namun progres
ekonomi di Bima tak sementereng gedung tersebut. Kondisi perekonomian
masyarakat Bima stagnan yang ditandai nyaris tak adanya dukungan positif iklim
investasi skala besar di Kota Bima maupun di Kabupaten Bima. Pada sisi lain gairah
ekonomi kreatif yang digerakan dari industri-industri kecil juga terlihat loyo.
Pengamat Ekonomi NTB, Abdul Munir melihat bahwa kegiatan
industri kecil atau mikro di wilayah NTB khususnya di Bima “kemban-kempis”. Pada aspek yang lebih luas,
daerah-daerah di NTB tidak memiliki industri skala menengah, apalagi besar.
Menurutnya penggerak utama pertumbuhan ekonomi adalah
sektor-sektor seperti industri, perdagangan, pariwisata dan pertanian dalam
arti luas.
“Ekonomi NTB itu stagnan, tidak ada kegiatan ekonomi yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi. Istilahnya
hidup segan, mati tak mau, kecuali untuk wilayah tertentu. Belo Selatan
misalnya untuk bidang usaha pertanian, petani bisa dapat hasil miliaran rupiah setiap
musim tanam,” katanya.
Munir melihat permasalahan utama pengembangan ekonomi
kreatif di wilayah Bima karena hampir bisa dipastikan produk masyarakat Bima
tidak memiliki daya saing. Penyebabnya karena orang Bima tidak memiliki jiwa
seni (kreativitas).
“Orang Bima itu hampir nggak punya jiwa seni, yang dituntut jiwa seni yang tinggi sehingga
output ada ciri khasnya terhadap daerah lain. Yang dituntut konsumen atas
produk itu adalah nilai seninya. Sekarang ini produk yang bernilai seni udah
dihasilkan melalui pabrikasi. Gimana mau bersaing dengan produksi industri?”
katanya.
Munir juga melihat intervensi pemerintah di daerah dalam
upaya mendorong perekonomian masyarakat melalui industri kreatif masih lemah
meskipun pada sisi lain sudah didukung sarana seperti PLUT yang dibangun
menggunakan anggaran miliaran oleh Kementerian Perdagangan.
“Kalaupun muncul nanti mau produksi dengan kapasitas berapa
unutk menutupi biaya produksi sehingga
layak usahanya. Lalu segmen pasar
ke mana (harus jelas),” kata pria yang pernah bertugas di Departemen
Perindustrian dan Perdagangan Jakarta ini.
Pada sisi lain, pria yang sering keliling daerah ini juga
klaim bahwa angka kemiskinan di Bumi Gora melalui berbagai upaya intervensi
pemerintah hanya sebuah politik penciteraan.
Hingga saat ini masyarakat digusuhkan fakta bahwa jumlah masyarakat NTB
yang berjuang mencari kehidupan lebih baik di negeri orang di bawah tekanan dan
deraan berbagai ancaman mencapai 800.000 jiwa lebih buruh migran Indonesia atau
TKI.
“Seperlima warga NTB seluruhnya masuk kategori warga
miskin. Mereka menjadi TKI (buruh migran) karena dari keluarga miskin,” katanya.
(SF)