![]() |
Seminar Perselisihan Metode Penelitian Hukum Normatif dan Metode Hukum Empiris di Fakultas Hukum Unram. |
Mataram,
Berita11.com— Apabila fakultas hukum tetap bertahan dengan segala sikap
konservatif dan tidak membuka diri bekerjasama dengan ranah ilmu lain
(interdisipliner), maka dalam fase disrupsi dan revolusi 4.0 ini maka dalam
waktu yang tidak lama peran profesi hukum dapat tergantikan oleh robot
kecerdasan.
Hal tersebut
mengemuka dalam seminar bertajuk perselisihan metode penelitian hukum normatif
dan metode hukum empiris yang diselenggarakan Taman Metajurdika dan Forum
Komunikasi Mahasiswa Magister Hukum Unram di Fakultas Hukum Unram, Kamis
(17/1/2019).
Pada seminar
yang diikuti 100 orang dengan nara sumber Prof Amiruddin dan Dr Widodo Putro
tersebut juga mengemuka bahwa gejala yang terjadi belakangan dalam penelitian,
kegiatan penelitian ilmiah dan akademik dilakukan sekadar sebagai formalitas.
Kurang terasa ‘passion’ sebagai peneliti
yang mencari dan menyingkap pendalaman kebenaran. Yang lebih terasa adalah
semangat berburu dana penelitian, dan memperoleh nama besar di dunia penelitian
ilmiah dan akademik.
Sementara itu pemerintah
dalam hal ini Ristek Dikti lebih mendorong berlomba-lomba menerbitkan jurnal
terindeksi scopus dibanding mendorong penemuan dan inovasi. Pola berpikir ini
mendangkalkan seluruh kegiatan penelitian ilmiah.
Dr Widodo Putro
mengatakan, ke depan, perlu mendesak mengembalikan sprit penelitian yakni pertama,
semangat penelitian adalah pencarian dan pendalaman kebenaran. Kedua,
penemuan-penemuan mendorong lahirnya paradigma baru.
Terlebih lagi,
penelitian hukum berbasis data masih dikuasai dan dikapiltalisasi oleh perusahaan
raksasa, yakniLexisNexis dan Westlaw. Dua vendor raksasa ini
mengelola database yang memuat segunung rincian kasus dan sering
menjadi titik awal penelitian hukum. Mereka berfungsi sebagai mesin
pencari dan menawarkan sarana analisis canggih. Salah satu bidang yang menarik
dari praktek dan riset internet adalah Big Data.
Big Data
dianggap sebagai teknologi dan arsitektur generasi baru, dirancang
agar organisasi dapat mensarikan nilai dari volume berbagai data yang
sangat besar dengan capture, penemuan, dan/atau analisis dengan kecepatan
tingg. Memang belum banyak pekerjaan hukum yang mengunakan Big Data. Susskind,
penulis buku Tommorow’s Lawyers: And intruduction to Your
Future memperkirakan bahwa pada suatu saat akan terbukti bahwa Big Data punya
makna mendalam bagi pengembanan hukum masa depan.
Masyarakat
pengguna jasa hukum cukup mengandalkan cakram disk berisi miliaran gygabite
data, yang didalamnya tersimpan jutaan kasus dengan solusinya, sehingga tinggal
klik, maka dalam sekejap semua pertanyaan
hukum terjawab dalam hitungan detik.
“Dengan
menggabungkan hasil penelusuran data, kita akan menemukan masalah hukum dan
kekhawatiran ancaman yang mengganggu masyarakat tertentu; dengan menganalisis
database dapat membantu regulator atau legislator membuat rancangan peraturan
yang mampu mengantisipasi permasalahan hukum masa depan,” katanya.
Revolusi
industri 4.0 telah mengubah cara orang-orang berinteraksi dengan hukum. Di
bidang hukum, firma-firma hukum, pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, akan
semakin tergantung dan membutuhkan asupan Big Data.
Sementara
Metodologi Penelitian Hukum yang konservatif, berusaha menjaga kemurnian hukum,
menolak bekerjasama dengan ranah ilmu lain (misalnya dengan ilmu-ilmu sosial),
hingga mempermasalahkan pada wilayah yang paling teknis seperti menolak
penelitian atas “data” dan beranggapan
yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap “bahan hukum” (peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim
Apabila
fakultas hukum tetap bertahan dengan segala sikap konservatifnya dan tidak
membuka diri bekerjasama dengan ranah ilmu lain (interdisipliner), maka dalam
fase disrupsi dan revolusi 4.0 ini maka dalam waktu yang tidak lama peran
profesi hukum dapat tergantikan oleh robot kecerdasan.
Dapat
dipastikan, korban pertama yang tergilas oleh robot kecerdasan adalah para
sarjana hukum yang hanya mengandalkan hafalan peraturan perundang-undangan.
Potensi korban
kedua, pekerjaan hukum yang bersifat teknis seperti menyusun kontrak juga akan
mudah digantikan robot kecerdasan. Para pihak yang berkontrak cukup dengan
bantuan robot kecerdasan, dapat menyusun kontrak bisnis secara mandiri dalam
aplikasi internet di depan komputer. Notaris tidak lagi dibutuhkan untuk
membuat kontrak. Perusahaan juga tidak lagi mempekerjakan orang untuk divisi
hukum.
Apabila
fakultas hukum masih bersikap konservatif maka semakin tertatih-tatih mengejar
pergerakan zaman yang begitu cepat.
Ranah penelitian dan big data justru dikuasai oleh korporasi raksasa
yang orientasinya lebih kuat hasrat komersialisasnya dibanding dunia kampus
yang masih mempunyai unsur pengembangan akademis dan pengabdian masyarakat.
Jika itu terjadi, fakultas hukum bersiap-siap menjadi museum dan masa depan
ilmu hukum dikendalikan dan dikuasai korporasi raksasa.
Di
fakultas-fakultas hukum Indonesia diam-diam terjadi ’permusuhan permanen’
antara penganut Metode Penelitian Hukum Normatif ”Murni” yang mengklaim bahwa
objek studi hukum itu ’terbatas’ norma/hukum positif (pendekatan monodispliner)
dengan Metode Penelitian Hukum Empiris (Sosio-Legal) yang melihat hukum secara
kritis dan juga melihat bekerjanya hukum dalam kenyataan di masyarakat sehingga
pendekatannya interdisipliner.
Dikotomi metode
normatif dan empiris, menyebabkan dua metode itu selalu saling berlawanan dan
menutup diri untuk tidak saling bekerja sama. Akibatnya, perkembangan Ilmu
Hukum cenderung stagnan, karena akhirnya perselisihan metode mengeras
seolah-olah menjadi perselisihan ideologi, sehingga saling “mengharamkan”
metode yang lain, yang pada gilirannya membuat Ilmu Hukum menjadi kerdil.
Para akademisi
hukum yang diharapkan sebagai agen perubahan melalui riset-risetnya masih sibuk
mempersoalkan dan mencari bagaimana metode penelitian hukum yang “murni” , yang
tidak terkontaminasi dari ilmu-ilmu lain.
Dosen hukum
“konservatif” biasanya mengajarkan metode penelitian hukum pada mahasiswa
membatasi objek penelitian hanya pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.
Kalau ada dosen fakultas hukum yang mengajarkan metode penelitian dengan
melihat hukum bukan sebagai suatu yang “given” melainkan mendalaminya secara
kritis terhadap kepentingan yang terkandung dibalik substansi norma hukum dan
juga meneliti implikasinya pada masyarakat justru dianggap “murtad” atau
(sebagai analogi) disamakan dengan kyai/pendeta yang dituduh tidak lagi
mempercayai kitab sucinya. Padahal ia sesungguhnya tetap beriman kepada kitab
sucinya, tetapi tidak percaya dengan tafsir pemuka agama lama atas kitab suci
itu.
Disadari atau
tidak, pendidikan hukum yang konservatif memiskinkan ’daya nalar’
sarjana-sarjana hukum di Indonesia. Para sarjana hukum yang terjun pada dunia
praktik cenderung hanya bisa menerapkan hukum, tapi nyaris tidak ada yang
tertarik memikirkan pengembangan
paradigma hukum dalam praktik hukum.
Salah satu
contoh adalah stagnasi dalam praktik hukum,
seperti sedikitnya putusan-putusan hakim yang dapat dikategorikan
sebagai landmark decision (putusan yang menjulang sehingga menjadi tonggak
sejarah) guna memperkaya perbendaharaan yurisprudensi. Bahkan, tidak sedikit
putusan-putusan yang dinilai masyarakat justru melukai rasa keadilan seperti
putusan Budi Pego, Nuril, Prita, dan sebagainya.
Konservatif, Mendudukan Metode
sebagai Ideologi
Ilmuwan hukum
yang konservatif menutup pintu kerjasama
dengan ranah ilmu lain (monodisipliner) karena khawatir apabila hukum bekerja
sama dengan ilmu lain (misalnya ilmu
sosial) akan mencemari kemurnian hukum itu sendiri. Proyek pemurnian hukum
mendapat justifikasi teori dari pemikiran Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam “The
Pure Theory of Law” mengajarkan hukum tidak boleh terkontaminasi dari
elemen-elemen asing (non hukum). Sementara secara tegas, Peter Mahmud Marzuki
dalam bukunya Penelitian Hukum (Penerbit Kencana, 2005) menganggap masuknya
ilmu-ilmu sosial ke wilayah ilmu hukum sebagai “bencana”.
Fakultas-fakultas
hukum di Indonesia memperlakukan ilmu hukum dan metode penelitian hukum
layaknya ideologi atau bahkan seperti “agama” sehingga membeku menjadi
‘keyakinan’. Padahal metode penelitian hanya metode untuk menjawab rumusan
masalah. Apabila metode didudukan sebagai ideologi maka sejak awal mengunci
mahasiswa dalam penelitian skripsi, tesis,
disertasi pada metode apa yang digunakan, atau validitas kebenaran sebuah karya
ilmiah sejak awal ditentukan metode apa yang digunakan.
Hukum yang
multif faset direduksi hanya pada urusan metode penelitian. Mengkaji hukum hanya sebatas sisi normatifnya
tentu tidak bisa melihat bagaimana hukum senyatanya. Terlebih lagi, kesenjangan
antara hukum ‘seharusnya’ dan hukum ‘senyatanya’ di Indonesia begitu
tajam, sehingga hukum tidak selalu
linear dari apa yang diatur dalam kitab undang-undang. Sebagai contoh:
Menurut
konstitusi, semua warganegara berkedudukan sama di hadapan hukum (normatif)
Fakta, si X
yang kaya dan si Y yang miskin adalah warganegara (empiris)
Pertanyaannya, apakah si X dan si Y
berkedudukan sama di hadapan hukum?
Lebih jauh
lagi, mengkaji hukum secara normatif dan empiris dalam kasus ketimpangan X dan
Y di atas, hanya sebatas memahami bagaimana hukum yang “seharusnya” dan
“senyatanya”, tetapi belum tentu peduli bagaimana mengubah relasi yang timpang
tersebut.
Apakah metode
penelitian hukum hanya berada pada dua imperium hukum normatif dan hukum
empiris yang saling mendikotomikan sehingga tidak ada perkembangan di luar dua
imperium itu? Apakah hukum mencukupkan
dirinya sebagai ilmu monodisipliner atau perlu bekerja sama dengan disiplin
ilmu lain (interdisipliner), misalnya ilmu sosial?
“The clash of
cultures” antara ilmu hukum dan ilmu sosial mengandaikan “air dan minyak’,
seolah dua bidang ilmu itu saling berdekatan tetapi tidak dapat saling bekerja
sama. Untuk sementara, ‘tembok-tembok’ batas itu bisa diterobos dengan
argumentasi;
Pertama, hukum
yang paling formal sekalipun, ia tetap harus berpijak pada basis sosialnya
(masyarakat). Karena itu, hukum membutuhkan evaluasi terus-menerus dari
kenyataan sosial. Menjauhkan dan memisahkan hukum dari basis sosial, bukankah
sama dengan ”menghianati” hukum (sebagai ilmu praktis-normologis) yang dalam
kenyataannya bekerja untuk dan di dalam masyarakat ?
Kedua, apa yang
disebut normatif tidak lahir dari ruang hampa, ia lahir dari rahim masyarakat
dan akhirnya berlaku di masyarakat itu. Alasan keberadaan (raison d’etre) norma
hukum bukan karena norma itu sendiri, melainkan karena adanya masyarakat.
Ketiga, bukti
keterikatan hukum pada kenyataan sosial adalah pengadilan di mana hakim harus
memeriksa fakta-fakta sebelum menjatuhkan putusannya.
Di dalam amar putusannya,
hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan secara khusus mengenai
fakta-faktanya untuk kemudian disusul dengan pertimbangan mengenai hukumnya.
Keempat, pendekatan
hukum murni kian tidak memadai pada masyarakat yang semakin kompleks.
Mengisolasi hukum dan menutup pintu kerjasama dengan disiplin ilmu lain
menyebabkan perkembangan hukum menjadi kerdil dan tertatih-tatih mengikuti
perkembangan masyarakatnya. Sehingga, teks tidak mungkin sama sekali terpisah
dari konteks.
Kelima, hukum
bukan suatu yang bebas kepentingan, melainkan sarat dengan
kepentingan-kepentingan. Untuk sampai menyingkap secara kritis kepentingan
ekonomi-politik dibalik hukum, tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum semata
(monodisipliner), melainkan juga perlu menggunakan pisau analisis yang
interdisipliner. [RD]