Bima, Berita11.com—
Beberapa tahun terakhir pengelolaan dana desa di Kabupaten Bima menuai masalah
seperti sebagian pekerjaan fisik yang diduga fiktif, problem pelaporan pajak
dan kemampuan pemerintah desa dalam membuat laporan penggunaan anggaran (SPJ).
Data Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPb) NTB bulan lalu menunjukan adanya dana desa tahap
2 Rp374 miliar yang masih mengendap dalam rekening kas umum daerah (RKUD),
termasuk untuk Kabupaten Bima Rp74,25 miliar. Problemnya karena desa-desa belum
menyelesaikan SPJ sehingga berimbas terhadap jadwal pencairan (anfra) dana
transfer dari pemerintah pusat itu.
Akademisi
STKIP Taman Siswa Bima yang juga Ketua Forum Rektor Perguruan Tinggi Bima
Dompu, Dr Ibnu Khaldun M.Si mengatakan, untuk mengatasi karut marut pengelolaan
anggaran termasuk dana desa yang selalu terulang setiap tahun, pemerintah
daerah harus mengubah mindset pengelolaan anggaran money follow the function, menjadi money follow program atau function
follow money.
“Dalam
istilah ekonomi money follow function.
Jadi anggaran mengikuti fungsi,harusnya function
follow money, sehingga fungsi dulu baru memikirkan anggaranya. Ini cara
berpikir out of the box yang menjadi (solusi)
penyakit birokrasi. Karena birokrasi sering dipolitisasi pada saat momentum
politik, semangat kerjanya berkurang, diminta atau tidak diminta pasti menjadi
pendukung (petahana),” katanya di kampus STKIP Taman Siswa Bima, Sabtu lalu.
Menurut Ibnu,
dalam perjalanan dana desa yang hampir lima tahun terdapat beberapa problem
yang sudah semestinya dievaluasi pemerintah pusat. Setiap perangkat kerja
daerah harus menghilangkan prinsip ‘berapa (keuntungan) untuk saya’ dalam
menyusun program dan anggaran.
“Kita
berharap, memang kalau kita lihat perjalanannya hingga ditetapkan undang-undang
ADD itu, ini masih banyak yang harus dievaluasi, yang harus dipikirkan 191 desa
(di Kabupaten Bima). Patut juga menjadi pertanyaan ada berapa persen dari 191
desa itu yang bisa meningkat mejadi desa maju? Kita belum mendengarnya,
termasuk desa yang tinggi tingkat pendapatan BUMDEsnya,” ujarnya.
Dikatakannya,
dengan modal anggaran rata-rata di atas Rp1 miliar per tahun, seharusnya ada
terobosan dari setiap desa yang bisa dipoles oleh pemerintah daerah yang
melaksanakan evaluasi dan pengawasan anggaran tersebut.
“ADD Rp1 miliar itu tidak
terus dominan pada infrastruktur. Ciri-ciri daerah tertinggal itu infrastruktur
belum selesai, listrik, jalan, jembatan dan irigasi yang belum selesai. Seharusnya
ada desa-desa sebagai sebagai best
practice. Ini baru belum lima tahun berjalan, saya kira yang penting on the track, semua mengikuti tata
kelola,” katanya.
Menurutnya,
Bupati Bima harus memiliki konsep dan rencana strategis misalnya membentuk desa
melek IT (smart village). Memiliki target misalnya membentuk desa cerdas, desa
wisata yang seluruh perangkatnya menggunakan sistem informasi (IT).
“Ini mana
desa terbaik? Ada Maria, ada Leu, Desa Sari. Dari tahun ke tahun nggak sampai
10 persen, harusnya lebih dari 10 persen. Walaupun belum masuk kategori desa
maju tapi sudah ada desa-desa practice, best practice yang bisa menjadi inspirasi.
Ada nggak desa-desa yang saling belajar dan membuat MoU untuk membangun
berdasarkan zona kebutuhan dan keberadaan potensi-potensinya, ini yang mesti
menjadi perhatian lagi yang serius dari kepala daerah,” katanya.
Mantan staf
ahli DPR RI ini juga tak menampik, problem pengelolaan dana desa di Kabupaten
Bima juga berkaitan masalah SDM aparatur desa, termasuk kepala desa dan bagian
atau kepala urusan di desa yang menyusun laporan penggunaan anggaran. Untuk itu,
kepala daerah harus memiliki konsep dan target membentuk smart village.
Kendati sesuai
undang-undang desa pemerintah desa memiliki otoritas pembangunan di desa. Namun
sebagai pembina utama, kepala daerah memiliki kewajiban untuk mewujudkan desa
yang menggunakan anggaran secara efektif dan efisien serta terarah, sehingga
memiliki output nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Perangkat desa yang belum siap dalam mengelola anggaran besar cenderung melahirkan masalah di kemudian hari.
“Seluruh
sistem dan SOP itu sudah sangat baik yang disiapkan kementerian. Kita sekarang
persoalanya butuh sumber daya. Ini persoalan sumber daya, kenapa di desa-desa
kita masih memahami kepala desa yang punya well
informasi dan well pendidikan, yang berpendidikan baik kan itu yang menjadi
persoalan. Sudah berapa kepala desa dari latar belakang pendidikan S1 atau S2,
kalau di Jawa kan sudah banyak yang (dari) S2,” ujarnya.
“Persoalannya
anggaran ada, kekuasaan ada. Kades itu harus menjawab atau memenuhi
kepentingan-kepentingan pada saat pelaksanan Pilkades, ini yang menjadi tantangan
tata kelola di desa. Kita ingin cepat berlari, tapi problemnya ada di visi
kepala desa itu sendiri dan kemitraan,” lanjut Ibnu.
Pemerintah daerah
harus mendorong dan memiliki program mewujudkan penguasaan IT (teknologi
informasi) oleh pemerintah desa, sebagaimana yang menjadi problem pengelolaan
anggaran seperti masalah penggunaan aplikasi Daring Sistem Keuangan Desa
(Sikskeudes). Pengelolaan anggaran desa tidak hanya untuk kepentingan kelompok
tertentu saja, namun terarah untuk orang banyak yakni masyarakat di desa.
“Sekarang kan
menuju smart governance seperti
adanya e-katalog. Apakah desa sudah punya e-katalog, e budgedting, e-governance,
tata kelola pemerintahan? Judul besarnya kita tetap tertinggal, di daerah
tertinggal kita masih tertinggal,” katanya.
Karut Marut Pengelolaan Dana Desa di
Kabupaten Bima
Sebelumnya,
Kepala Seksi Bank dan DAK Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Bima-Kanwil DJPb NTB Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Arif Kurniawan menyebutkan pada tahap kedua hingga awal Juli
2019 lalu, terdapat dana desa di Kabupaten Bima yang tertahan di RKUD Kabupaten
Bima sebanyak Rp74.247.495.600.
Selain dana
puluhan miliaran rupiah tahap dua yang tertahan tersebut, tercatat dalam data KPPN Bima dana sebesar Rp18.201.826.757
yang tertahan dalam RKUD Kabupaten Bima. Adapun total anggaran transfer dari
pemerintah pusat ke RKUD Kabupaten Bima pada tahap pertama tahun 2019 yaitu
sebesar Rp37.143.747.800. Problemnya terhambat pada laporan penggunaan anggaran
pencairan tahap sebelumnya.
Menurut Arif
Kurniawan, jika seluruh desa sudah beres berkaitan SPJ, mestinya pencairan
tahap 3 dana desa untuk Kabupaten Bima sudah
bisa dilakukan terhitung mulai bulan Juli 2019 lalu.
Sebagaiamana diketahui
sebelumnya tercatat beberapa desa di Kabupaten Bima yang bermasalah dengan
pengelolaan dana desa seperti Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora, desa di
Langgudu Kabupaten Bima yang kasusnya sampai penanganan oleh pihak kepolisian. Pada
tahun 2019, dinamika pengelolaan dana desa di Kabupaten Bima tidak jauh
berbeda, ada beberapa pemerintah desa termasuk di dalamnya kepala desa yang
dilaporkan warganya berkaitan pengelolaan dana desa seperti Desa Sanolo
Kecamatan Bolo terkait dugaan kegiatan fiktif Rp330 juta.
Pada tahun 2018 protes
berkaitan pengelolaan dana desa muncul di Desa Rato Kecamatan Bolo berkaitan
dana BUMDES, demikian halnya di Desa Lewintana Kecamatan Soromandi. Protes pengelolaan
dana desa pada tahun 2019 muncul di Desa Campa Kecamatan Madapangga Kabupaten
Bima.
Presiden Jokowi Minta Hapus Praktik
Money follow Function
Sebelumnya,
Presiden Republik Indonesia, Ir H Joko Widodo (Jokowi) menekankan perencanaan
dan penganggaran dalam pembangunan nasional harus sinkron, sehingga tidak ada
pembangunan yang terhambat dan rakyat tak dirugikan.
Salah satu
penekanan presiden yaitu menghapus praktik money follow function. Presiden menginginkan
tidak ada lagi forum-forum pertemuan hanya dipenuhi prosedur administrasi saja.
Tetapi betul-betul konkrit dimanfaatkan secara optimal mendorong prinsip money
follow program, terutama pendanaan program-program negara.
Penekanan tersebut
disampaikan dalam rapat terbatas tentang integrasi perencanaan dan penganggaran
untuk mengoptimalkan hasil pembangunan nasional tahun lalu. Presiden tidak menginginkan
munculnya prinsip sebagai “lagu lama”, seolah-olah ada dua rezim yaitu
perencanaan dan penganggaran, sehingga perencanaan dan penganggaran tidak
rampung.
Sebagaimana diketahui
paket Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Kuangan Negara
melahirkan penganggaran yang baru yaitu unfied
budget, perfomance based budget
(PBB), dan medium term expenditure
framework (MTEF).
Penerapan sistem penganggaran tersebut demi terwujudnya
efektifitas, efiensi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara. Salah satunya adalah munculnya prinsip money follow function, di mana pengalokasian
anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari
masing-masing satuan kerja. Hal tersebut dimaksudkan agar anggaran tepat sesuai fungsi satuan kerja, the right man in the right place. Namun pola tersebut melahirkan mindset aparatur akan melaksanakan program dengan pertimbangan keuntungan untuk dirinya.
Sebelumnya,
dalam beberapa kesempatan kunjungan ke desa, Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti
Putri SE mengingatkan desa untuk mengelola dana desa secara transparan, tepat
sasaran dan bertangungg jawab (akuntanbel). Pesan tersebut juga disampaikannya
saat mengikuti bhakti sosial yang diselenggarakan Dinas Koperasi dan UKM
Kabupaten Bima di Desa Tambe Minggu, 4 Agustus 2019. [RD]